Apa itu PPh Pasal 4 ayat (2)? Penjelasan Lengkap

 

 

//

Mozerla

 

PPh Pasal 4 Ayat (2): Apa Itu PPh Pasal 4 Ayat (2)?

Apa itu PPh Pasal 4 ayat (2)?

Apa itu PPh Pasal 4 ayat (2)? – Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) merupakan salah satu jenis pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan tertentu yang bersifat final. Artinya, pajak yang dibayarkan sudah dianggap sebagai pajak akhir dan tidak perlu dihitung lagi dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan.

Secara sederhana, PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan dari beberapa jenis objek pajak tertentu, dengan tarif pajak yang sudah ditetapkan pemerintah dan dipotong langsung oleh pembayar penghasilan.

Contoh Penerapan PPh Pasal 4 Ayat (2)

Bayangkan Budi menerima bunga deposito dari bank sebesar Rp10.000.000. Bank akan memotong PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 20% dari jumlah bunga tersebut sebelum Budi menerima dana tersebut. Jadi, Budi akan menerima Rp8.000.000 dan bank akan menyetorkan Rp2.000.000 ke kas negara sebagai pajak.

Subjek Pajak PPh Pasal 4 Ayat (2)

Subjek pajak PPh Pasal 4 ayat (2) adalah penerima penghasilan dari objek pajak yang telah ditentukan. Ini bisa berupa perorangan maupun badan.

Singkatnya, PPh Pasal 4 ayat (2) mengatur pajak atas penghasilan berupa jasa, sewa, dan lain-lain. Nah, terkadang dalam menjalankan usaha, kita perlu mengurus perbankan, misalnya membuka rekening perusahaan. Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah TDP (Tanda Daftar Perusahaan) cukup untuk keperluan tersebut? Untuk jawabannya, Anda bisa cek informasi lengkapnya di sini: Apakah TDP bisa digunakan untuk keperluan perbankan?

. Kembali ke PPh Pasal 4 ayat (2), pemahaman yang baik tentang regulasi ini penting agar kewajiban perpajakan Anda terpenuhi dengan benar.

Objek Pajak PPh Pasal 4 Ayat (2)

Objek pajak PPh Pasal 4 ayat (2) meliputi beberapa jenis penghasilan, antara lain:

  • Bunga deposito
  • Bunga obligasi
  • Dividen dari perusahaan yang tidak terdaftar di Bursa Efek Indonesia
  • Royalti
  • Hadiah undian atau lotre
  • Penghasilan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Penting untuk dicatat bahwa daftar objek pajak ini bisa berubah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, selalu perlu untuk mengacu pada peraturan perpajakan terbaru untuk informasi yang paling akurat.

Singkatnya, PPh Pasal 4 ayat (2) mengatur pajak atas penghasilan berupa jasa atau kegiatan tertentu. Nah, untuk melaporkan dan membayar pajak ini, Anda perlu mengakses sistem DJP Online. Untuk itu, pastikan Anda sudah mengaktifkan akun DJP Online Anda terlebih dahulu; silahkan ikuti panduan lengkapnya di sini: Bagaimana cara mengaktifkan akun DJP Online?. Setelah akun aktif, Anda dapat dengan mudah mengelola kewajiban perpajakan Anda, termasuk pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2) secara tepat waktu dan akurat.

Tarif Pajak PPh Pasal 4 Ayat (2)

Tarif pajak PPh Pasal 4 ayat (2) bervariasi tergantung jenis objek pajaknya. Misalnya, untuk bunga deposito dan obligasi, tarifnya umumnya 20%, sedangkan untuk jenis objek pajak lainnya bisa berbeda. Besaran tarif ini diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku dan dapat berubah sewaktu-waktu.

Kewajiban Pelaporan PPh Pasal 4 Ayat (2)

Meskipun pajak sudah dipotong di sumbernya, pemotong pajak (misalnya bank) tetap memiliki kewajiban pelaporan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Laporan ini biasanya berupa Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Masa PPh Pasal 4 ayat (2).

Dasar Hukum dan Regulasi PPh Pasal 4 Ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) merupakan bagian penting dari sistem perpajakan Indonesia. Pemahaman yang tepat mengenai dasar hukum dan regulasinya sangat krusial bagi wajib pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar dan menghindari sanksi. Berikut penjelasan detail mengenai landasan hukum dan regulasi yang mengatur PPh Pasal 4 ayat (2), termasuk perbandingannya dengan pasal-pasal lain yang relevan.

Dasar Hukum PPh Pasal 4 Ayat (2)

Dasar hukum utama PPh Pasal 4 ayat (2) adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pasal ini mengatur mengenai pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan tertentu yang bersifat final. Lebih spesifik lagi, ayat (2) menetapkan objek pajak dan tarif pajak yang berlaku untuk jenis penghasilan tertentu yang telah ditentukan.

Perubahan Regulasi Terkait PPh Pasal 4 Ayat (2)

Seiring berjalannya waktu, regulasi terkait PPh Pasal 4 ayat (2) mengalami beberapa perubahan. Perubahan-perubahan ini umumnya dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah. Perubahan tersebut bisa berupa penyesuaian tarif pajak, perluasan atau penyempitan objek pajak yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2), atau penambahan aturan-aturan pelaksanaannya. Informasi mengenai perubahan regulasi ini dapat diakses melalui situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Perbandingan PPh Pasal 4 Ayat (2) dengan Pasal Lain yang Relevan, Apa itu PPh Pasal 4 ayat (2)?

PPh Pasal 4 ayat (2) berbeda dengan pasal-pasal lain dalam UU PPh, terutama dalam hal objek pajak dan sifatnya yang final. Perbedaan ini penting untuk dipahami agar wajib pajak dapat mengklasifikasikan penghasilannya dengan tepat dan menghitung kewajiban pajaknya secara akurat. Berikut tabel perbandingan PPh Pasal 4 ayat (2) dengan beberapa pasal lain yang relevan:

Jenis PPh Objek Pajak Tarif Pajak
PPh Pasal 4 ayat (2) Contoh: Bunga deposito, sewa tanah/bangunan, imbalan jasa tertentu (sesuai peraturan menteri keuangan) Beragam, tergantung jenis objek pajak (misalnya, 20%, 15%, 10%)
PPh Pasal 21 Penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, dan imbalan lainnya Beragam, tergantung besarnya penghasilan bruto (skala progresif)
PPh Pasal 23 Penghasilan berupa jasa, sewa, dan penghasilan lainnya Beragam, tergantung jenis objek pajak

Catatan: Tabel di atas hanya memberikan contoh perbandingan. Tarif pajak dan objek pajak dapat berubah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Singkatnya, PPh Pasal 4 ayat (2) mengatur pajak penghasilan atas penghasilan berupa jasa atau kegiatan tertentu. Nah, ketika kita membahas kewajiban pajak, penting juga memahami terkait izin usaha. Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah semua jenis usaha memerlukan TDP? Untuk menjawabnya, silakan cek informasi lengkapnya di sini: Apakah TDP berlaku untuk semua jenis usaha?.

Mengetahui hal ini penting karena kepemilikan TDP dapat berpengaruh pada aspek administrasi perpajakan, termasuk dalam pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2) itu sendiri.

Rujukan Peraturan Perundang-undangan

  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang terkait dengan pelaksanaan PPh Pasal 4 ayat (2). Contohnya, PMK yang mengatur tentang jenis-jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) dan besar tarif pajaknya. (Perlu dicantumkan nomor PMK yang relevan jika tersedia dan akurat).

Mekanisme Perhitungan PPh Pasal 4 Ayat (2)

Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan tertentu yang bersifat final. Artinya, pajak ini sudah final dan tidak perlu dihitung lagi dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Memahami mekanisme perhitungannya sangat penting bagi wajib pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar.

Singkatnya, PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan tertentu, misalnya jasa. Nah, untuk bisa melaporkan dan membayar pajak ini, kamu tentu butuh NPWP. Proses pembuatannya cukup mudah, kok, lihat saja panduan lengkapnya di sini: Bagaimana cara mengurus NPWP untuk usaha perorangan?. Setelah memiliki NPWP, kamu bisa dengan lancar melaporkan kewajiban pajak PPh Pasal 4 ayat (2) dan terhindar dari masalah perpajakan di kemudian hari.

Jadi, urus NPWP-mu sekarang juga agar pembayaran pajakmu lebih tertib!

Perhitungan PPh Pasal 4 ayat (2) didasarkan pada tarif dan jenis penghasilan yang diterima. Tarifnya sendiri diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat berubah. Oleh karena itu, selalu penting untuk merujuk pada peraturan terbaru untuk memastikan perhitungan yang akurat.

Langkah-langkah Perhitungan PPh Pasal 4 Ayat (2)

Perhitungan PPh Pasal 4 ayat (2) umumnya mengikuti langkah-langkah berikut:

  1. Identifikasi Jenis Penghasilan: Tentukan jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2). Contohnya, bunga deposito, bunga obligasi, royalti, dan lain-lain. Setiap jenis penghasilan memiliki tarif pajak yang berbeda.
  2. Tentukan Besar Penghasilan Bruto: Hitung jumlah total penghasilan bruto sebelum dipotong pajak. Ini adalah jumlah penghasilan sebelum dikurangi biaya-biaya.
  3. Cari Tarif Pajak yang Berlaku: Temukan tarif pajak yang berlaku untuk jenis penghasilan tersebut berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Tarif ini biasanya dinyatakan dalam persen (%) dari penghasilan bruto.
  4. Hitung PPh Pasal 4 Ayat (2): Kalikan penghasilan bruto dengan tarif pajak yang telah ditentukan. Hasilnya adalah jumlah PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar.
  5. Pembayaran Pajak: Bayar PPh Pasal 4 ayat (2) yang telah dihitung sesuai dengan ketentuan yang berlaku, biasanya melalui bank yang ditunjuk.

Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 Ayat (2)

Berikut beberapa contoh kasus perhitungan PPh Pasal 4 ayat (2) dengan berbagai skenario, dengan asumsi tarif pajak yang berlaku adalah 20%:

Skenario Jenis Penghasilan Penghasilan Bruto Tarif Pajak PPh Pasal 4 Ayat (2)
Skenario 1 Bunga Deposito Rp 10.000.000 20% Rp 2.000.000
Skenario 2 Royalti Rp 5.000.000 20% Rp 1.000.000
Skenario 3 Bunga Obligasi Rp 25.000.000 20% Rp 5.000.000

Catatan: Angka-angka dalam contoh di atas merupakan ilustrasi dan dapat berbeda tergantung pada tarif pajak yang berlaku dan jenis penghasilan yang diterima. Selalu rujuk pada peraturan perpajakan terbaru untuk informasi yang akurat.

Flowchart Alur Perhitungan PPh Pasal 4 Ayat (2)

Berikut ini gambaran alur perhitungan PPh Pasal 4 ayat (2) dalam bentuk flowchart:

  1. Mulai
  2. Identifikasi Jenis Penghasilan
  3. Tentukan Penghasilan Bruto
  4. Cari Tarif Pajak yang Berlaku
  5. Hitung PPh Pasal 4 Ayat (2) (Penghasilan Bruto x Tarif Pajak)
  6. Bayar Pajak
  7. Selesai

Kewajiban dan Tanggung Jawab Wajib Pajak

PPh Pasal 4 ayat (2) merupakan pajak penghasilan yang dipungut di sumber (withholding tax) atas pembayaran tertentu. Memahami kewajiban dan tanggung jawab terkait pembayaran PPh Pasal 4 ayat (2) sangat penting untuk menghindari sanksi dan memastikan kepatuhan perpajakan.

Kewajiban Wajib Pajak dalam Membayar PPh Pasal 4 Ayat (2)

Wajib pajak yang melakukan pembayaran yang dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) berkewajiban untuk memotong pajak tersebut dari jumlah yang dibayarkan dan menyetorkannya ke kas negara melalui sistem penerimaan negara. Kewajiban ini mencakup penghitungan yang akurat atas jumlah pajak yang terutang, pemotongan pajak dari pembayaran yang dilakukan, dan penyetoran pajak tersebut tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sanksi atas Ketidakpatuhan Pembayaran PPh Pasal 4 Ayat (2)

Ketidakpatuhan dalam membayar PPh Pasal 4 ayat (2) dapat berakibat sanksi administrasi berupa denda. Besarnya denda bervariasi tergantung pada jumlah pajak yang tidak dibayar dan lamanya keterlambatan. Selain denda, wajib pajak juga dapat dikenai sanksi berupa bunga keterlambatan. Sanksi ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan mendorong kepatuhan perpajakan.

Konsekuensi Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 4 Ayat (2)

Keterlambatan pembayaran PPh Pasal 4 ayat (2) akan mengakibatkan penambahan beban biaya berupa bunga keterlambatan. Misalnya, jika wajib pajak terlambat menyetorkan pajak sebesar Rp 10.000.000,- selama satu bulan, maka akan dikenakan bunga keterlambatan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, keterlambatan juga dapat berdampak pada reputasi wajib pajak dan menimbulkan kesulitan dalam mengurus perizinan atau transaksi bisnis di masa mendatang.

Pihak yang Bertanggung Jawab atas Pemotongan dan Penyetoran PPh Pasal 4 Ayat (2)

Pihak yang bertanggung jawab atas pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pemotong pajak. Pemotong pajak ini umumnya adalah pihak yang melakukan pembayaran kepada wajib pajak, misalnya perusahaan yang membayar honorarium kepada narasumber atau jasa konsultan. Pemotong pajak wajib melakukan pemotongan dan penyetoran pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketidakpatuhan pemotong pajak dapat berakibat sanksi yang sama seperti yang dibebankan kepada wajib pajak.

Langkah-langkah Pemenuhan Kewajiban Perpajakan PPh Pasal 4 Ayat (2)

Untuk memenuhi kewajiban perpajakan PPh Pasal 4 ayat (2), wajib pajak perlu melakukan beberapa langkah. Langkah-langkah ini memastikan kepatuhan dan meminimalisir risiko sanksi.

PPh Pasal 4 ayat (2) merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan tertentu, seperti bunga, royalti, dan sewa. Nah, untuk bisa melaporkan dan membayar pajak ini, tentu Anda memerlukan NPWP. Proses mendapatkannya cukup mudah, kok, terutama bagi UMKM. Informasi lengkapnya bisa Anda temukan di sini: Bagaimana cara mendapatkan NPWP untuk UMKM?.

Setelah memiliki NPWP, Anda bisa lebih mudah memahami dan memenuhi kewajiban perpajakan, termasuk menghitung dan membayar PPh Pasal 4 ayat (2) dengan tepat.

  1. Hitung jumlah PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang berdasarkan peraturan yang berlaku.
  2. Potong pajak dari jumlah yang dibayarkan kepada penerima.
  3. Setorkan pajak yang telah dipotong ke kas negara melalui sistem penerimaan negara, tepat waktu.
  4. Laporkan pemotongan dan penyetoran pajak melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 4.
  5. Simpan bukti potong dan bukti setor pajak sebagai arsip.

Perbedaan PPh Pasal 4 Ayat (2) dengan Jenis Pajak Lainnya

Apa itu PPh Pasal 4 ayat (2)?

PPh Pasal 4 ayat (2) memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari jenis pajak penghasilan lainnya seperti PPh Pasal 21, 22, dan 23. Memahami perbedaan ini krusial untuk kepatuhan perpajakan yang tepat. Berikut ini uraian perbandingan yang akan menjelaskan perbedaan tersebut secara rinci.

Perbandingan PPh Pasal 4 Ayat (2) dengan PPh Pasal 21, 22, dan 23

Tabel berikut menyajikan perbandingan PPh Pasal 4 ayat (2) dengan PPh Pasal 21, 22, dan 23. Perbedaan mendasar terletak pada subjek pajak, objek pajak, dan tarif pajaknya.

Aspek PPh Pasal 4 Ayat (2) PPh Pasal 21 PPh Pasal 22 PPh Pasal 23
Subjek Pajak Pembayar/Penerima penghasilan atas objek pajak tertentu Wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan usaha Importir, eksportir, dan pihak lain yang melakukan transaksi tertentu Wajib pajak badan dan orang pribadi yang melakukan pembayaran atas jasa, sewa, dan lain-lain
Objek Pajak Penghasilan dari bunga, deviden, royalti, dan penghasilan lainnya yang bersifat final Penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, dan sejenisnya Bea masuk, PPN, dan PBB Penghasilan berupa bunga, sewa, royalti, dan lain-lain
Tarif Pajak Beragam, tergantung jenis penghasilan dan peraturan yang berlaku Progresif, berdasarkan penghasilan kena pajak Beragam, tergantung jenis transaksi dan peraturan yang berlaku Beragam, tergantung jenis penghasilan dan peraturan yang berlaku

Perbedaan Subjek, Objek, dan Tarif Pajak

Perbedaan mendasar antara PPh Pasal 4 ayat (2) dengan pajak penghasilan lainnya terletak pada subjek, objek, dan tarif pajak. PPh Pasal 4 ayat (2) dikenakan atas penghasilan tertentu yang bersifat final, artinya pajak sudah dipotong di sumbernya dan tidak perlu dilaporkan lagi dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Berbeda dengan PPh Pasal 21, 22, dan 23 yang memiliki mekanisme pelaporan dan perhitungan pajak yang berbeda.

Contoh Kasus Perbedaan Penerapan

Misalnya, bunga deposito yang diterima oleh seorang nasabah dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong langsung oleh bank. Sedangkan penghasilan dari gaji seorang karyawan dikenakan PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dan dilaporkan dalam SPT Tahunan. Pembayaran atas jasa konsultan dikenakan PPh Pasal 23 yang dipotong oleh pemberi jasa dan dilaporkan oleh pemberi jasa maupun penerima jasa dalam SPT Tahunan.

Perbedaan Mendasar PPh Pasal 4 Ayat (2) dan PPh Pasal Lainnya

PPh Pasal 4 ayat (2) merupakan pajak penghasilan final yang dipotong di sumbernya, sehingga tidak perlu dilaporkan lagi dalam SPT Tahunan. Berbeda dengan PPh Pasal 21, 22, dan 23 yang merupakan pajak penghasilan yang memerlukan pelaporan dan perhitungan pajak yang lebih kompleks.

Pertanyaan yang Sering Diajukan (FAQ)

Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) seringkali menimbulkan kebingungan bagi wajib pajak. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif mengenai aspek-aspek pentingnya sangat krusial untuk menghindari kesalahan pelaporan dan sanksi. Berikut ini beberapa pertanyaan umum yang sering diajukan, beserta jawabannya yang detail dan komprehensif.

Perbedaan PPh Pasal 4 Ayat (2) dengan Jenis Pajak Lainnya

PPh Pasal 4 ayat (2) seringkali dikacaukan dengan jenis pajak penghasilan lainnya. Perbedaan utamanya terletak pada objek pajak dan subjek pajaknya. PPh Pasal 4 ayat (2) dikenakan atas penghasilan berupa bunga, deviden, royalti, dan penghasilan lain sejenis yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri dari sumber di dalam negeri. Berbeda dengan PPh Pasal 21 yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, dan tunjangan, atau PPh Pasal 25 yang merupakan pajak penghasilan atas penghasilan neto yang diterima selama satu tahun pajak. Singkatnya, PPh Pasal 4 ayat (2) fokus pada penghasilan pasif, sedangkan PPh Pasal 21 dan 25 lebih kepada penghasilan aktif.

Cara Menghitung PPh Pasal 4 Ayat (2)

Perhitungan PPh Pasal 4 ayat (2) relatif sederhana. Pajak dihitung berdasarkan tarif final yang telah ditetapkan, yaitu sebesar 20% dari bruto penghasilan yang diterima. Misalnya, jika seorang wajib pajak menerima bunga deposito sebesar Rp10.000.000, maka PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang adalah Rp2.000.000 (20% x Rp10.000.000). Namun, perlu diperhatikan bahwa beberapa jenis penghasilan mungkin memiliki tarif yang berbeda, dan hal ini perlu dikonsultasikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kewajiban Pelaporan PPh Pasal 4 Ayat (2)

Wajib pajak yang menerima penghasilan yang dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) berkewajiban untuk melaporkan pajaknya. Pelaporan dilakukan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 4 ayat (2). SPT ini dilaporkan setiap bulan atau setiap tahun, tergantung pada besarnya penghasilan yang diterima. Ketepatan waktu pelaporan sangat penting untuk menghindari sanksi administrasi berupa denda. Terlambat melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perpajakan yang berlaku. Selain itu, pemahaman yang baik mengenai kewajiban pelaporan ini penting untuk memastikan kepatuhan perpajakan yang optimal.

Pertanyaan Jawaban
Apa perbedaan PPh Pasal 4 ayat (2) dengan PPh Pasal 21? PPh Pasal 4 ayat (2) dikenakan atas penghasilan pasif (bunga, deviden, dll.), sedangkan PPh Pasal 21 dikenakan atas penghasilan aktif (gaji, upah, dll.).
Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 4 ayat (2)? Pajak dihitung dengan tarif final 20% dari bruto penghasilan (kecuali ada ketentuan khusus lainnya).
Bagaimana cara melaporkan PPh Pasal 4 ayat (2)? Melalui SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) yang dilaporkan setiap bulan atau tahun, tergantung besarnya penghasilan.

Contact

Sumatera 69
Bandung, 40115

+6287735387748
Contact Us

Connect

 

 

 

 

 

Layanan

Pendirian PT

Legalitas Perusahaan

Virtual Office